ZUHURA PALESTINE

“Tidak! Tidak akan!”

“Apa salahnya?”

Wanita itu masih pucat dan lemah menyampaikan argumennya. Keringat dinginnya mengucur di seluruh bagian wajah. “Kau sedang tidak berpikir dengan akal sehat.”

“Aku sadar sekarang. Dan aku sangat mengerti dengan apa yang sedang aku pikirkan.”

“Dia anak perempuan pertama kita. Itu hadiah yang kau berikan padanya?”

Ingin berkata. Namun akhirnya laki-laki itu pun trenyuh juga. Air matanya luluh. Bukan menangisi anak perempuannya. Tapi menangisi wanita polos di depannya ini. Wanita yang telah dia nikahi apa adanya. Murni gadis desa yang masih benar-benar virgin. Terlalu malah. Tidak menempuh pendidikan tinggi seperti dirinya. Ya, hatinya berpendapat, ketidak tahuan seorang wanita akan dunia global merupakan satu nilai plus kesucian mereka. Walau orang-orang mengatakannya ketinggalan jaman, tidak up date dan gaptek masa bodo. Dia sangat mencintainya. Memilihnya merupakan pertaruhan yang sangat besar bagi kemajuan hidupnya. Namun dia menilai wanita seperti itulah yang benar-benar wanita. Tipe wanita yang dia inginkan. Dan sekarang, dia tidak tega kalau harus melampiaskan semua bebannya pada istri tercintanya itu.



Ya, bisa dibilang istrinya sedang tidak tahu apa-apa. Dia tak tahu masalah yang sedang mereka hadapi sekarang. Dan mungkin dia takkan mengerti.

Sebenarnya dia tak ingin bertengkar hanya gara-gara perbedaan pendapat kecil ini. Kalau istrinya menurut, maka semua masalah akan selesai.

“Aku sudah memilih nama-nama yang lebih baik baginya. Dan kurasa itu jauh lebih cocok.”

“Seperti apa?” pertanyaan memancing. Karena sebenarnya laki-laki itu sudah bisa menebak.

“Mar’atus Shaliha... atau Nurul Hidayati, Nur Fitria atau mungkin Fatimah Az-Zahra.”

Tepat sekali. Pas seperti yang dipikirkannya. Nama-nama itu bukan mendapat referensi dari mana-mana. Akan tetapi dia serap dari nama saudara-saudaranya yang cantik-cantik. Tidak kreatif memang, tapi bukan itu masalahnya. “Lalu apa salahnya dengan Zuhura Palestine?”

“Aku tidak ingin mendoakan putri pertamaku mendapat nasib seperti orang-orang Palestine, dengan memberi nama dia itu.”

“Doanya bukan pada Palestine-nya. Tapi pada kesucian darah dan jiwa yang mengalir pada orang-orang Palestine. Jangan menghilangkan kata Zuhura. Jiwa mereka pejihad. Kematian mereka sangat mulia.”

“Anak kita baru lahir dan kau sudah memikirkan kematian?”

Laki-laki itu tersentak. Aduh... dia merasa bingung sekali bagaimana harus menjelaskannya. Di sisi lain hatinya ini sudah hancur. Dia sudah sakit setengah mati. Dia seakan kehilangan semangat hidup.

Baiklah, sebenarnya di sini titik permasalahannya. Di sinilah letak dimana dia tidak bisa menjelaskan secara gamblang kepada istrinya. Putri pertamanya baru lahir. Sangat manis dan lucu. Dan tentu saja. Sangat berharga. Ini adalah harinya yang ke tujuh. Acara Aqiqah akan segera digelar beberapa jam lagi dan dia masih berdebat dengan istrinya masalah nama. Hari-hari sebelumnya dia sudah istikharah dan istrinya juga sudah setuju dengan nama pertama. Zuhura Palestine. Namun tanpa sepengetahuannya, ternyata istrinya menyiapkan nama yang lain. Dan diam-dia menentang usul pertamanya.

Antara kesal, jengkel, dan sedih.

Sudah tidak bisa diselamatkan, Pak. Paling lama satu bulan. Mungkin dua bulan. Kelainan jantungnya sudah parah. Allah memang Maha Tahu segalanya. Dan juga Maha Menakdirkan semua. Tapi,itu prediksi yang tidak main-main dari kami. Kami sudah mempelajari ilmunya dalam waktu yang lama. Sebaiknya bapak persiapkan mental bapak dengan istri bapak. Iman itu ;lebih dari segalanya.’ Dia masih ingat dengan jelas kata-kata itu. Tim dokter yang dia bayar dalam persalinan istrinya.

“Orang sana itu tidak pernah lepas dari kedhaliman. Negaranya bodoh. Irak bahkan membunuh Zaidi. Padahal menurutku, pelempar sepatu itu adalah pahlawan.” Polos sekali istrinya.

“Al-Zaidi tidak mati, istriku. Aku mencari beritanya dimana-mana. Dan dia belum mati. Kalau pun dia didhalimi orang negaranya sendiri, pasti bukan orang Irak yang salah. Kalau Saddam Husein, presiden besar mereka saja bisa dibuat seolah-olah rakyat Irak yang membunuh, apalagi orang sekecil Zaidi. Provokasi mereka canggih. Israel dan Amerika itu pandai. Kita tidak tahu dan tidak sampai pada pikiran dan kekejaman mereka.”

“Provokasi?”

“Ya, keterkaitan Amerika dan Israel tak bisa membohongi dunia. Dalam menjajah kita. Menjajah kekayaan kita. Menjajah agama dan budaya kita. Menjajah orang-orang kita. Mereka...”

“Lalu mengapa nama anak kita harus Palestine?”

“Zuhura Palestine.”

“Apa sajalah. Mereka itu tertindas suamiku.”

“Palestine itu tidak seperti yang kau bayangkan. Palestine begitu indah dan menakjubkan. Sangat istimewa. Menjadi tempat suci berbagai agama. Diagung-agungkan dan menjadi tempat yang paling banyak tertumpahkan darah suci. Dan kesucian mereka begitu agung. Putri kita begitu istimewa. Bagi kita, bagi keluarga kita, bagi agama, bagi dunia. Dia begitu istimewa. Seperti Palestine.”

“Yang lain masih banyak yang lebih indah. Mengapa kau memilih negara yang sekarang masih ditindas? Yang bahkan, semua negara di dunia berusaha menolong namun tak bisa.”

Ingat Zuhura-nya!! Kesucian, itulah yang kita cari dari putri kita! Putri yang mungkin sebentar lagi sudah melayang seperti para syuhada’ yang sekarang bertumpah darah di sana. Dia akan menjadi bidadari yang tercantik di antara mereka.

Masya Allah!! Seandainya kau tahu! Seandainya kau tahu bahwa hanya sebuah nama yang indah yang bisa kita hadiahkan padanya. Nama yang mengandung doa penuh makna.

Tak sampai suara hatinya itu keluar lewat mulutnya yang bergetar. Sebenarnya bukan hanya mulut. Seluruh tubuhnya gemetar. Hanya dia yang tahu perkataan dokter itu. Tidak. Bagaimana mungkin dia mengatakan itu. Allah yang Tahu. Bahkan Allah yang membuatnya tahu. Kalau tidak, dia sudah memohon-mohon untuk tidak diberitahu. Menanti kehilangan sungguh jauh lebih menyakitkan dibanding berhadapan dengan kematian. Nyawa diri sendiri tak ada harganya dibanding jika harus membayangkan yang dicintai terenggut. Dan waktu sudah tak banyak lagi.

“Pokoknya aku tetap tidak setuju dengan nama itu. Aku takut putriku akan mengalami nasib sama dengan orang-orang Palestine dalam hidupnya.”

Suaminya bernafas panjang. Sesak dan berat menahan beban. Pandangan teduhnya mengatakan, bukan nama itu berarti bukan juga jajaran nama-nama tak kreatif tadi. Ah tapi... hatinya sudah terpaut dengan nama bidadari yang dipilihkannya itu. Zuhura Palestine.

“Baiklah, istriku, sayangku. Kita bicarakan pelan-pelan. Yang kita permasalahkan sekarang hanyalah sebuah nama. Padahal, apalah arti sebuah nama. Oke, aku tahu itu doa. Dan tentu saja aku juga tidak sembarangan dalam memilih doa bagi putri yang sangat kucintai. Putri pertama sebagai karunia pernikahan kita. Yang kau beratkan dari nama itu adalah kata Palestine. Kau takut dia bernasib sama dengan orang-orang Palestine. Menderita. Coba kita maknai kata Palestine dengan jernih. Kenapa kau tak coba untuk berpikir ke depan. Mungkin dunia memang benar-benar neraka bagi mereka. Penderitaan tiada habisnya dalam berdekade-dekade. Sama sekali tidak memiliki kemampuan dan kekuatan. Bahkan sangat sulit untuk hanya sekedar meneriakkan sebuah kata ‘keadilan’. Mereka tak sanggup meraih bahagianya hidup. Bayi-bayi mereka tak diberi kesempatan menatap masa dewasa. Wanita-wanita mereka sudah tak sanggup bernafas harap. Dan para laki-laki, sudah malu untuk menyebut diri mereka pahlawan keluarga. Karena pertumpahan zaman sekarang tak hanya melanda kaum mereka. Akan tetapi wanita dan anak-anak juga menjadi korbannya. Palestine sedang benar-benar tenggelam dalam kemelut kedhaliman. Dan tak ada yang bisa melakukan apa-apa. Politik mana yang bisa mengalahkan Amerika? Kecerdasan, kesetiaan, persatuan dan kekejaman mana yang bisa mengalahkan Israel? Itu memang sudah tertakdir dan sudah tertulis. Sudah tergaris bahwa Yahudi dan Nasrani akan selamanya memusuhi kita sampai kita mengikuti mereka. Keadilan memang tak pernah bisa dutuntut di dunia istriku. Kebahagiaan abadi tak bisa diminta di dunia. Namun pikirkan sisi yang lain. Orang-orang Palestine yang sekarang, adalah orang-orang yang memiliki takdir paling bahagia. Tuhan tidak menyia-nyiakan hidup mereka. Mereka dipersiapkan untuk memperoleh kebahagiaan yang jauh lebih lama dari dunia. Kebahagiaan yang abadi. Takdir mereka sudah ditetapkan dan itu adalah kebahagiaan abadi itu sendiri. Betapa bahagianya mereka di surga. Percuma kita menuntut ‘siapa yang salah-siapa yang salah? Siapa yang bertanggung jawab.’ Percuma. Tak ada yang bisa menjawab. Allah yang akan menjawabnya. Bahwa Dia yang sebenarnya bertanggung jawab akan semua ini. Apa kita akan menyalahkan Dia sedangkan Dia memperlakukan darah-darah yang tumpah di Palestine dengan begitu terhormatnya? Sedang Dia menjanjikan kebahagiaan tiada tara kepada mereka? Lebih dari itu. tak hanya Allah yang memuliakannya. Seluruh dunia sekarang sudah iri padanya. Bagian dunia mana yang mengutukinya? Semua mengerti dan semua tahu. Bahkan semua orang memuliakan darah mereka.”

Istrinya menunduk. Kini beranjak menuju tempat tidur bayi mungil mereka. Box bayi mungil.

“Nama Palestine itu begitu indah seandainya kita tahu. Goresan takdir untuk mereka adalah goresan terindah dibanding kita-kita sekarang. Kau tak senang putri kita memiliki nasib seperti mereka? Dijanjikan kebahagiaannya? Disayang dan sangat diistimewakan Tuhan? Tidakkah...” laki-laki itu menghentikan kata-katanya melihat istrinya bertingkah aneh.

“Kenapa istriku?”

Istrinya mematung saat menggendong anak mereka. Dia memandang tak percaya pada anaknya.

“Kenapa? Ada apa?” laki-laki itu masih belum mengerti.

Istrinya tak berhenti memandang anak mereka dengan pandangan aneh. Dan sekarang rautnya berubah. Menjadi sangat ketakutan. Tangannya gemetar.

Sampai dia hampir membanting bayi itu. Kalau saja suaminya tak menangkapnya hingga tak jadi terjatuh.

“Hei! Apa-apaan kau ini?!” laki-laki itu membentak perbuatan istrinya. Tiba-tiba... perasaan itu tiba-tiba datang. Ketakutan juga melandanya. Dia tak berani menebak apa yang terjadi. Mulutnya terkunci. Bayi itu kini ada di genggamannya. Dia peluk erat-erat tanpa berani dia lihat. Dia rasakan masih hangat.

Kemudian istrinya tersedu. “Astaghfirullah... Ya Allah... Allah...”

Walau masih tak mengerti, entah kenapa, laki-laki itu turut menangis. Dia benar-benar tak ingin menebaknya. Secepat inikah?

“Suamiku, anak kita tak mau bangun sejak kemarin maghrib. Dia tak menangis dan tak mau bangun sampai sekarang. Dia... dia hanya diam...”

Runtuh sudah benteng ketegarannya. Lutut laki-laki itu terasa lemas.

“Kenapa? Kenapa dia tak mau bangun? Dia terlalu nyeyak. Ada apa dengan dia?” wanita itu tersesak tangis.

“Astaghfirullah... ” dia mencoba menata kekuatan kembali. Dia berusaha melihat keadaan bayi di genggamannya itu.

Benarlah. Yang dia rasakan masih hangat tadi adalah selimutnya. Bayi itu. Kaku. Dingin. Tangisnya tak terbendung. Ingin rasanya meraung-raung. “Innalillah...”

Mendengar itu. Istrinya tak sadarkan diri.

“Tuhan benar-benar menjanjikan kebahagiaan abadi bagimu, anakku... Zuhura... Palestine.”

Di hari ke tujuh hidupnya. Sebuah nama seharusnya tercantum malam nanti. Di acara aqiqah sekaligus doa kematiannya.

Benarlah. Zuhura Palestine memang namanya.

Semoga, dia merasakan kebahagiaan Syahid Palestine sebagai imbalan hidupnya yang tak... seberapa lama.



Read More…

0 komentar: